Membangun Budaya Positif di Sekolah : Mengintegrasikan Disiplin Positif, Nilai Kebajikan, dan Teori Motivasi
Dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung perkembangan siswa, penting bagi kita untuk memahami berbagai konsep kunci yang berkaitan dengan disiplin positif, motivasi, serta pemahaman mendalam tentang kebutuhan dasar manusia. Artikel ini akan membahas enam konsep utama: Disiplin Positif dan Nilai Kebajikan, Teori Motivasi, Hukuman dan Penghargaan, Keyakinan Kelas, Lima Kebutuhan Dasar Manusia, Lima Posisi Kontrol, dan Segitiga Restitusi. Dengan memahami dan mengimplementasikan konsep-konsep ini, kita dapat membangun budaya sekolah yang lebih positif dan mendukung.
1. Disiplin Positif dan Nilai Kebajikan
Disiplin Positif adalah pendekatan yang berfokus pada pengembangan tanggung jawab, rasa hormat, dan pengendalian diri pada siswa tanpa menggunakan hukuman fisik atau verbal. Prinsip dasar disiplin positif adalah memberikan bimbingan yang konsisten dan penuh kasih, sambil tetap mempertahankan batasan yang jelas. Nilai kebajikan seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan empati menjadi dasar dari pendekatan ini.
Dengan menanamkan nilai-nilai kebajikan dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya dididik untuk menjadi cerdas secara akademis, tetapi juga menjadi individu yang bermoral dan berkarakter. Guru memiliki peran penting dalam mencontohkan dan memperkuat nilai-nilai ini dalam interaksi sehari-hari di kelas.
2. Teori Motivasi, Hukuman, dan Penghargaan
Teori motivasi memberikan kerangka kerja untuk memahami apa yang mendorong perilaku manusia. Salah satu teori yang relevan adalah Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, yang menyatakan bahwa manusia termotivasi oleh lima tingkat kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis dasar hingga aktualisasi diri.
Dalam konteks pendidikan, penting untuk mempertimbangkan bahwa motivasi siswa dapat dipengaruhi oleh cara penghargaan dan hukuman diberikan. Penghargaan dapat memperkuat perilaku positif, sedangkan hukuman seringkali hanya memberikan solusi jangka pendek dan dapat mengakibatkan efek negatif pada harga diri siswa. Oleh karena itu, disiplin positif lebih mengedepankan pemberian penghargaan dan pengakuan atas usaha, ketimbang hukuman yang bersifat menghukum atau mempermalukan.
3. Keyakinan Kelas
Keyakinan kelas merujuk pada serangkaian nilai dan prinsip yang dipegang oleh seluruh anggota kelas, termasuk guru dan siswa, yang membimbing perilaku dan interaksi di dalam kelas. Keyakinan ini menjadi panduan dalam menentukan apa yang dianggap penting dan benar di dalam lingkungan belajar.
Misalnya, sebuah kelas dapat memiliki keyakinan bahwa "setiap siswa memiliki potensi untuk sukses" atau "kesalahan adalah bagian dari proses belajar." Keyakinan kelas ini membentuk budaya dan iklim di dalam kelas, yang pada akhirnya mempengaruhi motivasi dan keterlibatan siswa.
4. Lima Kebutuhan Dasar Manusia
Menurut Teori Pilihan yang dikembangkan oleh William Glasser, manusia memiliki lima kebutuhan dasar yang mendorong perilaku mereka:
- Kebutuhan akan kelangsungan hidup (survival): mencakup kebutuhan fisik dasar seperti makanan, air, dan keamanan.
- Kebutuhan akan cinta dan kepemilikan (love and belonging): kebutuhan untuk merasa dicintai dan memiliki hubungan sosial.
- Kebutuhan akan kekuasaan (power): kebutuhan untuk merasa dihargai dan memiliki kontrol atas hidup.
- Kebutuhan akan kebebasan (freedom): kebutuhan untuk merasakan otonomi dan kebebasan dalam memilih.
- Kebutuhan akan kesenangan (fun): kebutuhan untuk menikmati hidup dan memiliki pengalaman yang menyenangkan.
Dalam konteks pendidikan, guru perlu mempertimbangkan lima kebutuhan ini untuk memahami perilaku siswa dan menciptakan strategi yang efektif dalam mendukung mereka.
5. Lima Posisi Kontrol
Lima posisi kontrol menggambarkan cara-cara guru atau orang dewasa lain berinteraksi dengan anak-anak dalam upaya untuk mengelola perilaku:
- Penghukum : Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia. Pembuat Merasa Bersalah : Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti :
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya..
Pendekatan terbaik adalah kontrol bersama, di mana guru dan siswa saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
3. Teman : Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
5. Manajer : Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.
6. Segitiga Restitusi
Segitiga Restitusi adalah alat untuk membantu siswa memperbaiki kesalahan mereka dan belajar dari pengalaman tersebut. Pendekatan ini melibatkan tiga langkah:
- Menstabilkan identitas: Membantu siswa memahami bahwa mereka adalah individu yang baik meskipun melakukan kesalahan.
- Validasi tindakan: Memahami mengapa siswa bertindak seperti itu, biasanya terkait dengan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi.
- Restitusi: Mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahan mereka dan membuat rencana agar tidak mengulanginya.
Dengan menggunakan segitiga restitusi, guru dapat mengubah situasi negatif menjadi peluang pembelajaran yang positif, membantu siswa untuk berkembang menjadi individu yang lebih baik.
Kesimpulan
Membangun budaya positif di sekolah bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan memahami dan mengimplementasikan konsep-konsep seperti disiplin positif, nilai kebajikan, teori motivasi, keyakinan kelas, kebutuhan dasar manusia, posisi kontrol, dan segitiga restitusi, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan inspiratif bagi semua siswa. Mari bersama-sama kita membangun sekolah yang tidak hanya mendidik secara akademis, tetapi juga mengembangkan karakter dan nilai-nilai kebajikan yang akan menemani siswa sepanjang hidup mereka.