Senin, 06 Februari 2012

Budaya Religius Sekolah

Budaya religius sekolah adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah).

Menurut Glock & Stark (1966) dalam Muhaimin, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:
a. Dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan doktrin tersebut.
b. Dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
c. Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu.
d. Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.
e. Dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

Tradisi dan perwujudan ajaran agama memiliki keterkaitan yang erat, karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja dari masyarakat/lembaga di mana ia dipertahankan, sedangkan masyarakat juga mempunyai hubungan timbak balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Untuk itu, menurut Mukti Ali, agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Dalam kaitan ini, Sudjatmoko juga menyatakan bahwa keberagamaan manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas budayanya masing-masing yang berbeda-beda.

Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat berkorban (jihad), semangat persaudaraan (ukhuwah), semangat saling menolong (ta’awun) dan tradisi mulia lainnya. Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: berupa tradisi solat berjamaah, gemar bersodaqoh, rajin belajar dan perilaku yang mulia lainnya.

Dengan demikian, budaya religius sekolah adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.

Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai-nilai keberagamaan (religius) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui: kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ektrakurikuler di luar kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religious culture tersebut dalam lingkungan sekolah.

Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran agama diharapkan menerapkan prinsip-prinsip keberagaman sebagai berikut:
a. Belajar Hidup dalam Perbedaan
Perilaku-perilaku yang diturunkan ataupun ditularkan oleh orang tua kepada anaknya atau oleh leluhur kepada generasinya sangatlah dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan dan nilai budaya, selama beberapa waktu akan terbentuk perilaku budaya yang meresapkan citra rasa dari rutinitas, tradisi, bahasa kebudayaan, identitas etnik, nasionalitas dan ras.

Perilaku-perilaku ini akan dibawa oleh anak-anak ke sekolah dan setiap siswa memiliki perbedaan latar belakang sesuai dari mana mereka berasal. Keragaman inilah yang menjadi pusat perhatian dari pendidikan agama Islam berwawasan multikultural. Jika pendidikan agama Islam selama ini masih konvensional dengan lebih menekankan pada proses how to know, how to do dan how to be, maka pendidikan agama Islam berwawasan multikultural menambahkan proses how to live and work together with other yang ditanamkan oleh praktek pendidikan melalui:
1) Pengembangansikap toleransi, empati dan simpati yang merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. Pendidikan agama dirancang untuk menanamkan sikap toleran dari tahap yang paling sederhana sampai komplek.
2) Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif anggota dari masing-masing kelompok yang berbeda. Pendidikan agama harus bisa menjembatani perbedaan yang ada di dalam masyarakat, sehingga perbedaan tidak menjadi halangan yang berarti dalam membangun kehidupan bersama yang sejahtera.
3) Pendewasaan emosional, kebersamaan dalam perbedaan membutuhkan kebebasan dan keterbukaan. Kebersamaan, kebebabasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan intra agama-agama.
4) Kesetaraan dalam partisipasi. Perbedaan yang ada pada suatu hubungan harus diletakkan pada relasi dan kesalingtergantungan, karena itulah mereka bersifat setara. Perlu disadari bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk hidup serta memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia yang universal.
5) Kontrak Sosial dan aturan main kehidupan bersama. Perlu kiranya pendidikan agama memberi bekal tentang ketrampilan berkomunikasi, yang sesungguhnya sudah termaktub dalam nilai-nilai agama Islam.

b. Membangun Saling Percaya (Mutual Trust)
Saling percaya merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah hubungan. Disadari atau tidak prasangka dan kecurigaan yang berlebih terhadap kelompok lain telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini yang membuat kehati-hatian dalam melakukan kontrak, transaksi, huibungan dan komunikasi dengan orang lain, yang justru memperkuat intensitas kecurigaan yang dapat mengarah pada ketegangan dan konflik. Maka dari itu pendidikan agama memiliki tugas untuk menanamkan rasa saling percaya anta agama, anatar kultur dan antar etnik.

c. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)
Saling mengerti berarti saling memahami, perlu diluruskan bahwa memahami tidak serta merta disimpulkan sebagai tindakan menyetujui, akan tetapi memahami berarti menyadari bahawa nilai-nilai mereka dan kita dapat saling berbeda, bahkan mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan hidup. Pendidikan agama berwawasan multikultural mempunyai tanggung jawab membangun landasan-landasan etis saling kesepahaman antara paham-paham intern agama, antar entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagi sikap dan kepedulian bersama.

d. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
Menghormati dan menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang dikandung semua agama di dunia. Pendidikan agama menumbuhkembangkan kesadaran bahwa kedamaian mengandalkan saling menghargai antar penganut agama-agama, yang dengannya kita dapat dan siap untuk mendengarkan suara dan perspektif agama lain yang berbeda, menghargai signifikansi dan martabat semua individu dan kelompok keagamaan yang beragam. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri orang lain apalagi dengan menggunakan sarana dan tindakan kekerasan. Saling menghargai membawa pada sikap berbagi antar semua individu dan kelompok.

e. Terbuka dalam Berfikir
Selayaknya pendidikan memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir dan bertindak bahkan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru dari para siswa. Dengan mengondisikan siswa untuk dipertemukan dengan berbagai macam perbedaan, maka siswa akan mengarah pada proses pendewasaan dan memiliki sudut pandang dan cara untuk memahami realitas. Dengan demikian siswa akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri, orang lain dan dunia. Dengan melihat dan membaca fenomena pluralitas pandangan dan perbedaan radikal dalam kultur, maka diharapkan para siswa mempunyai kemauan untuk memulai pendalaman tentang makna diri, identitas, dunia kehidupan, agama dan kebudayaan diri serta orang lain.

f. Apresiasi dan Interdepedensi
Kehidupan yang layak dan manusiawi akan terwujud melalui tatanan sosial yang peduli, dimana setiap anggota masyarakatnya saling menunjukkan apresiasi dan memelihara relasi dan kesalingkaitan yang erat. Manusia memiliki kebutuhan untuk saling menolong atas dasar cinta dan ketulusan terhadap sesama. Bukan hal mudah untuk menciptakan masyarakat yang dapat membantu semua permasalahan orang-orang yang berada di sekitarnya, masyarakat yang memiliki tatanan sosial harmoni dan dinamis dimana individu-individu yang ada di dalamnya saling terkait dan mendukung bukan memecah belah. Dalam hal inilah pendidikan agama Islam berwawasan multikultural perlu membagi kepedulian tentang apresiasi dan interdepedensi umat manusia dari berbagai tradisi agama.

g. Resolusi Konflik
Konflik berkepanjangan dan kekerasan yang merajalela seolah menjadi cara hidup satu-satunya dalam masyarakat plural, satu pilihan yang mutlak harus dijalani. Padahal hal ini sama sekali jauh dari konsep agama-agama yang ada di muka bumi ini. Khususnya dalam hidup beragama, kekerasan yang terjadi sebagian memperoleh justifikasi dari doktrin dan tafsir keagamaan konvensional. Baik langsung maupun tidak kekerasan masih belum bisa dihilangkan dari kehidupan beragama.
Adapaun secara eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas masyarakat yang sedang mengalami krisis moral. Ada beberapa hal strategis yang bisa diperankan pendidikan dalam meresolusi konflik dan kekerasan di dunia, antara lain:
Pertama, pendidikan mengambil strategi konservasi. Secara fisioner dan kreatif pendidikan perlu diarahkan untuk menjaga, memelihara, mempertahankan “ aset-aset agama dan budaya” berupa pengetahuan, nilai-nilai, dan kebiasan-kebiasaan yang baik dan menyejarah. Nilai-nilai pendidikan humanistikyang dikokohkan dengan agama dipercaya mampu merangkai visi kebudayaan dan peradaban manusia yang bermartabat tinggi dan mulia.

Kedua, pendidikan mengambil strategi restorasi. Secara visioner dan kreatif pendidikan diarahkan untuk memperbaiki, memugar, dan memulihkan kembali aset-aset agama dan budaya yang telah mengalami pencemaran, pembusukan, dan perusakan. Jika tidak direstorasi, maka set-aset agama dan budaya dikhawatirkan berfungsi terbalik, yaitu merendahkan martabat manusia ke derajat paling rendah (radadna-hu asfala safilin) dan bahkan yang paling rendah dari binatang (ula-ika kal-an’am bal hum adlallu) . Telah dimaklumi bahwa konflik dan kekerasan yang berskala tinggi selama ini adalah bentuk pencemaran, pembusukan, dan perusakan aset-aset agama dan budaya.

Celakanya di beberapa tempat muncul apa yang disebut dengan “kekerasaan agama” dan “agama kekerasan” maupun “kekerasan budaya” dan “ budaya kekerasan” . Hakikinya semua itu merupakan bentuk perilaku menyimpang; menyimpang dari agama dan budaya. Dikatakan sebagai “kekerasan agama” karena kekerasan-kekerasan yang dilakukan manusia secra terang-terangan melecehkan, merusak, menganiaya, dan membunuh ajaran agama-agama yang universal dan rasional. Disebut “agama kekerasan” karena kekerasan demi kekerasan yan dilakukan manusia dicarikan legitimasinya melalui agama. Demikian pula dikenal sebagai “kekerasan budaya” karena manusia secara terang-terangan telah melakukan destruksi terhadap hasil akal budinya sendiri. Sedangkan pada sisi lain, “budaya kekerasan” adalah kekerasan-kekerasan yang dilakukan manusia dimana-mana, termasuk nafsu berperang dan memerangi, dijadikan adat yang disahkan, bahkan oleh pembenaran internasional. Pembenaran dimaksud antara lain di bawah payung keputusan PBB, atau wadah-wadah kesepakatan multilateral yang resmi lainnya. Untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan itu, lagi-lagi pendidikan, agama, dan budaya adalah mata rantai perekat yang harus diperkuat.

Apa yang dilakukan pendidikan dalam memperbaiki, memugar dan memulihkan kembali aset-aset agama dan budaya adalah sebuah proyeksi masa depan. Hasilnya tidak instan. Karena tugas pendidikan untuk memberikan alternatif masa depan. Seorang guru yang mengajarkan nilai-nilai paedagogik ke peserta didik bukan dalam konteks ketika pelajaran nilai itu diberikan, melainkan suatu proses internalisasi jangka panjang ke arah masa depan. Peran dan fungsi pendidikan di dalam berbagai level dan kluster sengaja dihadirkan untuk menciptakan perubahan-perubahan konstruktif dalam mewujudkan peradaban masa depan atau masa depan peradaban. Apa yang mendera Indonesia dengan konflik dan kekerasan perlu segera didesak untuk dilakukan restorasi. Dan pendidikan adalah alat terpenting bagi usaha restorasi ke arah hidup damai, aman, dan sejahtera.


Rujukan:
1. QS al-Baqarah ayat: 208
2. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 294.
3. Zakiyuddin Baidhowi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: Airlangga, 2005, hal. 58
4. QS. Al-Tin ayat: 5
5. QS. Al-A’raf ayat: 179
6. Malik Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 136




Sumberwww.kabar-pendidikan.blogspot.comwww.kmp-malang.com 
www.arminaperdana.blogspot.com 

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi BLOG saya